PENGERTIAN ISLAM, IMAN DAN IHSAN
1. Islam
Islam menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada
kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Dimensi
Islam mempunyai lima penyangga (rukun) yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan
haji.
Menurut bahasa, Islam berasal dari
bahasa Arab, yaitu dari kata salima yakni berarti selamat, sentosa dan damai.
Kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk jamak yaitu aslama yang berarti
berserah diri masuk dalam kedamaian.
Rasulullah SAW banyak menamakan
beberapa perkara dengan sebutan Islam, umpamanya: taslimul qalbi (penyerahan
hati), salamat unnas minal lisan wal yad (tidak menyakiti orang lain dengan
lisan dan tangan), memberi makan, serta ucapan yang baik. Semua perkara ini,
yang disebut Rasulullah sebagai Islam mengandung nilai penyerahan diri,
ketundukkan dan kepatuhan yang nyata.
Ada indikasi bahwa Islam adalah
inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci
melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi
diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman
melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (QS.
al-Hujarat:14). Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks
firman itu, kaum Arab Badui tersebut barulah tunduk kepada Nabi secara
lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan "Islam", yaitu
"tunduk" atau "menyerah." Tentang hadits yang terkenal yang
menggambarkan pengertian masing-masing Islam, iman dan ihsan. Ibn Taimiyah
menjelaskan bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan,
yang dalam ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan: orang mulai dengan
Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan.
Selanjutnya, penjelasan yang sangat
penting tentang makna "al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn
Taimiyah. Ia mengatakan bahwa "al-Islam" mengandung dua makna adalah
: pertama, ialah sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan
dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa. Jadi, orang yang tulus
itu tidak musyrik dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada
Allah.
Hukum Islam terwujud dan terbukti dengan dua kalimat syahadat, menegakkan
shalat, membayar zakat, puasa dan menunaikan haji ke Baitullah. Ini semua
adalah syiar-syiar Islam yang paling tampak. Seseorang yang melaksanakannya
berarti sempurnalah penghambaannya. Apabila ia meninggalkannya berarti ia tidak
tunduk dan berserah diri. Lalu penyerahan hati, yakni ridla dan taat, dan tidak
menggangu orang lain, baik dengan lisan maupun tangan, ia menunjukkan adanya
rasa ikatan ukhuwah imaniyah. Sedangkan tidak menyakiti orang lain merupakan
bentuk ketaatan menjalankan perintah agama, yang memang menganjurkan kebaikan
dan melarang mengganggu orang lain. Ketaatan seseorang dengan hal tersebut
merupakan gambaran yang nyata tentang Islam. Hal tersebut mustahil dapat
terwujud dengan pembenaran dalam hati (iman). Dan berbagai hal itulah yang
disebut dengan Islam.
2. Iman
Menurut bahasa, iman berarti
pembenaran dalam hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah membenarkan dalam
hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, iman adalah kepercayaan yang berkenaan dengan
agama; keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, Nabi, kitab, yang tidak akan
bertentangan dengan ilmu dapat pula berarti ketetapan hati; keteguhan batin;
keseimbangan batin.
Sedangkan iman menurut pandangan
para ulama terdahulu, diantaranya adalah pendapat Imam Al-Baghawi r.a., beliau
berkata : ”Para sahabat, Tabi’in, dan para ulama sunnah mereka bersepakat bahwa
amal shalih adalah bagian dari iman. Mereka berkata bahwasanya iman terdiri
dari ucapan dan perbuatan serta keyakinan. Iman bertambah karena ketaatan dan
berkurang karena kemaksiatan.
Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam
r.a. berkata: ”Pandangan ahl sunnah yang kami ketahui adalah apa yang
disampaikan oleh para ulama kita yang kami sebutkan di kitab-kitab kami, yakni
bahwa iman itu meliputi kumpulan niat (keyakinan), ucapan, dan amal perbuatan”.
Dimensi Iman memiliki enam penyangga
(rukun) yang harus diyakini, yaitu : Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir dan Taqdir. Dimensi Iman dibahas secara mendalam dalam buku-buku (disiplin) ilmu Tauhid dan ilmu Kalam.
(rukun) yang harus diyakini, yaitu : Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir dan Taqdir. Dimensi Iman dibahas secara mendalam dalam buku-buku (disiplin) ilmu Tauhid dan ilmu Kalam.
Pengertian iman secara umum, yaitu
sikap percaya, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing rukun iman
yang enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya pada masing-masing rukun iman
itu memang mendasari tindakan seorang maka sudah tentu pengertian iman yang
umum dikenal itu adalah wajar dan benar.
Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan bahaya di jalanan.
Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan bahaya di jalanan.
Keterpaduan antara iman dan
perbuatan yang baik juga dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi bahwa orang
yang berzina, tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak
tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan orang yang mencuri tidaklah
beriman ketika ia mencuri, dan seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan
yang mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman.
Berdasarkan itu, maka sesungguhnya makna iman dapat berarti sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan (al-birr), yaitu: Oleh karena itu, perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan perkataan kebajikan (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din) pada Tuhan (al-din).
Berdasarkan itu, maka sesungguhnya makna iman dapat berarti sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan (al-birr), yaitu: Oleh karena itu, perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan perkataan kebajikan (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din) pada Tuhan (al-din).
Dalam bahasa Inggris, pada umumnya
kita tidak bisa membedakan antara istilah faith dan belief namun, Wilfred,
Cantwell Smith menggarisbawahi bahwasanya istilah faith sekalipun tanpa
mempertimbangkan konteks bahasa Arab perlu dibedakan dengan istilah belief.
Ketika kita mengatakan “people believe in something” yang dimaksudkan adalah
bahwasanya mereka memiliki keyakinan bahwa sesuatu tersebut benar, namun kita
sering menjumpai bahwasanya mereka salah dan bertentangan dengan bukti yang
meyakinkan. Dalam bahasa Islam, istilah Iman tidak mengandung konotasi negatif
seperti itu. Iman melibatkan keyakinan akan sebuah kebenaran sejati, bukan
kebenaran prasangka. Selanjutnya istilah faith berarti masyarakat memiliki
keyakinan tersebut, maka mereka mengikat diri mereka untuk bertindak
berdasarkan kebenaran yang mereka ketahui.
Nabi Muhammad mendefinisikan kata
iman dengan sabdanya, “iman adalah sebuah pengakuan dengan hati, pengucapan
dengan lisan dan aktivitas anggota badan”. Jadi, iman melibatkan pengakuan,
pengucapan dan perbuatan.
3. Ihsan
Ihsan dianalogikan sebagai atap
bangunan Islam (Rukun iman adalah pondasi, Rukun Islam adalah bangunannya). Ihsan
(perbuatan baik dan berkualitas) berfungsi sebagai pelindung bagi bangunan
keislaman seseorang. Jika seseorang berbuat ihsan, maka amal-amal Islam lainnya
atan terpelihara dan tahan lama (sesuai dengan fungsinya sebagai atap bangunan
Islam)
Landasan ihsan :
1. Landasan Qauliy
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan untuk berbuat ihsan terhadap segala sesuatu. Maka jika kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang ihsan, dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan (menenangkan & menen-tramkan) hewan sembelihan itu” (HR Muslim). Tuntutan untuk berbuat ihsan dalam Islam yaitu secara maksimal (terhadap segala sesuatu: manusia, hewan) dan optimal (terhadap yang hidup maupun yang akan mati)
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan untuk berbuat ihsan terhadap segala sesuatu. Maka jika kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang ihsan, dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan (menenangkan & menen-tramkan) hewan sembelihan itu” (HR Muslim). Tuntutan untuk berbuat ihsan dalam Islam yaitu secara maksimal (terhadap segala sesuatu: manusia, hewan) dan optimal (terhadap yang hidup maupun yang akan mati)
2. Landasan Kauniy
Dengan melihat fenomena dalam kehidupan ini, secara sunatullah setiap orang suka akan perbuatan yang ihsan.
Dengan melihat fenomena dalam kehidupan ini, secara sunatullah setiap orang suka akan perbuatan yang ihsan.
Alasan Berbuat Ihsan :
Ada dua alasan mengapa kita berbual ihsan:
Ada dua alasan mengapa kita berbual ihsan:
1. Adanya Monitoring Allah
(Muraqabatullah)
Dalam HR Muslim dikisahkan jawaban
Rasul ketika ditanya malaikat Jibril yang menyamar sebagai manusia, tentang
definisi ihsan: “Mengabdilah kamu kepada Allah seakan-akan kamu melihat Dia.
Jika kamu tidak melihatNya, sesungguhnya Dia meIihatmu”.
2. Adanya Kebaikan Allah
(Ihsanullah)
Allah telah memberikan nikmatnya
yang besar kepada semua makhlukNya (QS. 28:77 QS. 55, QS. 108: 1-3)
Dengan mengingat Muraqabatullah dan Ihsanullah, maka sudah selayaknya kita ber-Ihsanun Niyah (berniat yang baik). Karena niat yang baik akan mengarahkan kita kepada:
Dengan mengingat Muraqabatullah dan Ihsanullah, maka sudah selayaknya kita ber-Ihsanun Niyah (berniat yang baik). Karena niat yang baik akan mengarahkan kita kepada:
1. Ikhlasun Niyat (Niat yang Ikhlas)
2. Itqonul ‘Amal (Amal yang rapi)
3. Jaudatul Adaa’ (Penyelesalan yang baik)
2. Itqonul ‘Amal (Amal yang rapi)
3. Jaudatul Adaa’ (Penyelesalan yang baik)
Jika seseorang beramal dan memenuhi
kriteria di atas, maka ia telah memiliki Ihsanul ‘Amal (Amal yang ihsan).
Ada 3 keuntungan jika sesorang
meramal dengan amal yang ihsan:
1) Dicintai Allah [2:195]
2) Mendapat Pahala [33: 29]
3) Mendapat Pertolongan Allah [16:128]
1) Dicintai Allah [2:195]
2) Mendapat Pahala [33: 29]
3) Mendapat Pertolongan Allah [16:128]
HUBUNGAN ANTARA ISLAM, IMAN DAN
IHSAN
Dari
pengertian Islam, Iman dan Ihsan di atas, Ibnu Taimiyah (1392 H : 2) lebih
melibatkan pada saling menopangnya antara ke-3 faktor tadi. Menurutnya, Islam
ini merupakan tahapan pertama,sedangkan tahapan kedua adalah iman dan yang
terakhir adalah ihsan. Dalam hal ini, memang ada beberapa hadist yang
menjelaskan hal tersebut :
“Dari Umar bin
Abasah katanya; Aku menemui Rasulullah SAW bertanya padanya, “Wahai Rasulullah,
siapa yang mengikutimu dalam urusan ini?” Beliau menjawab, “Seorang yang
merdeka (atau) seorang hamba.” Aku
bertanya lagi, “Apa itu Islam?” Beliau menjawab, “Baiknya ucapan dan gemar
member makan.” Aku bertanya, “Apa itu iman?” beliau menjawab, “Sifat sabar dan
dermawan.” Aku bertanya lagi, “Islam mana yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yaitu
orang yang seluruh kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
Aku bertanya lagi, “Iman mana yang paling baik?” Beliau menjawab, “Baiknya
akhlak.” Aku bertanya, ”shalat mana yang paling baik?” Beliau menjawab,
“Lamanya berdiri.” Aku bertanya lagi, “hijrah mana yang paling baik?” Beliau
menjawab, “Yaitu engkau berhijrah dari apa yang dibenci Tuhanmu.” Aku bertanya
lagi, “Jihad mana yang paling baik?” beliau menjawab lagi, “Yaitu orang yang
kemurahannya dilukai dan tercurah darahnya.” Aku bertanya, “Waktu kapan yang
paling baik?” Beliau menjawab, “kelamnya malam terakhir.” (HR. Ahmad).
Dari
hadist di atas, dapat dilihat bahwa Islam menjadi dasar dari iman dan iman
menjadi dasar dari ihsan. Hadist inipun dapat memberikan gambaran konkrit tentang
batasan-batasan minimal dan maksimal dari apa itu islam, iman dan ihsan.
Ketika
Rasulullah ditanya tentang Islam, maka beliau SAW menjawab, bahwa Islam ialah
baiknya ungkapan dan gemar member makan. Dari definisi ini, pengertian Islam
menjadi sandaran terbentuknya pengertian Iman karena ternyata seutama-utamanya
kaum muslimin dalam keislamannya berkaitan dengan keimanannya. Dalam hal ini,
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Iman adalah sifat sabar dan dermawan. Dengan
demikian jelaslah, tanpa adanya “baiknya ungkapan dan gemar memberikan makan”
sebagai pengertian Islam yang minimal tak mungkin terwujud adanya sifat
dermawan dan sabar sebagai pengertian Islam yang maksimal. Karena itu, ketika
seseorang muslim telah mampu menduduki peringkat muslim yang maksimal, maka
secara otomatis ia telah menduduki peringkat mukmin yang minimal. Jelaslah
bahwa dasar keimanan seseorang sangat bergantung pada tingkat keislamannya.
Dan, seumpama pengertian mukmin minimal itu adalah sifat dermawan dan sabar,
maka sebaik-baiknya mukmin dalam keimanannya adalah mereka yang akhlaknya baik.
Sedangkan,
mengenai ihsan dalam hadist ini dijelaskan dengan rinci, yaitu antara hijrah
sebagai seorang yang dengan kekuatan ibadahnya ia mampu untuk meninggalkan apa
yang telah Allah haramkan atasnya, dimana sebaik-baiknya muhajir tadi, tentulah mereka yang bias berjihad di jalan Allah
SWT. Oleh karenanya, kelabilan seseorang dalam meninggalkan apa yang Allah SWT
haramkan dan masih setengah-setengahnya dalam melaksanakan perintah-Nya, akan
terus ada apabila ia belum menduduki peringkat ihsan. Namun, hal ini tidak
berarti bahwa seseorang yang belum sampai pada tingkat ihsan tidak boleh untuk
berhijrah dan berjihad. Hal ini karena bertaqwa pada Allah SWT harus dijalankan
dalam kadar kemampuan yang kita miliki. Allah berfirman :
Artinya : “Maka bertakwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah
nafkah yang baik untuk dirimu. dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”
Hadist lain yang membahas
hubungan antara Islam, Iman dan Ihsan adalah :
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ
شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ
أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ
وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ
اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ
تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ
وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا
لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ :
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي
عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ:
مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ
أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ
الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ
انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ
السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ
أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ . [رواه مسلم]
Artinya :
Dari Umar
radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki
yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak
padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang
mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua
lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya
berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa
tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan
dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua
heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya
lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian
dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku
tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia
melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat
(kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari
yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “,
beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau
melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba,
(kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu
berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “
Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian
(bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)
Hadits
ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat
pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Hadits
ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah
yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril)
dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits:
Disunnahkan
untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya
jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa. Siapa yang menghadiri
majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh untuk mengetahui
suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka wajib baginya
bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar peserta yang
hadir dapat mengambil manfaat darinya. Jika seseorang yang ditanya tentang
sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk berkata: “Saya tidak tahu“, dan
hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya. Kemungkinan malaikat tampil dalam
wujud manusia. Termasuk tanda hari kiamat adalah banyaknya pembangkangan
terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak memperlakukan kedua orang tuanya
sebagaimana seorang tuan memperlakukan hambanya. Tidak disukainya mendirikan
bangunan yang tinggi dan membaguskannya sepanjang tidak ada kebutuhan. Didalamnya
terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah
ta’ala. Didalamnya terdapat keterangan tentang adab dan cara duduk dalam majlis
ilmu.
0 comments:
Post a Comment