Ibarat Mobil, Jiwa Itu Sopirnya
Banyak orang keliru memahami tentang jiwa. Dikiranya jiwa sama dengan ruh. Padahal keduanya beda.
Kebanyakan orang hanya mengerti bahwa manusia itu terdiri dari jasad dan ruh. Atau rancu antara pengertian jiwa dengan ruh. Padahal Allah dalam al-Qur’an jelas-jelas membedakan penggunaan kata ar-ruh (ruh) dengan an-nafs (jiwa). Manusia itu terdiri dari tiga unsur: jasad, jiwa dan ruh.
Diantara ketiga unsur itu, jiwa merupakan unsur yang tidak banyak dipahami orang. Ketidakmengertian itu tidak hanya terjadi di masyarakat awam, golongan intelektual pun banyak yang tidak mengerti tentang jiwa. Bukan hanya terjadi saat ini saja, tetapi sudah lama. Buktinya, dalam buku Al Ihya Ulumuddin bab Ajaibul Qulub Imam Al Ghazali mengatakan, “Bahkan ulama-ulama yang masyhur sekarang ini (jaman Imam Al Ghazali) banyak yang tidak mengerti hal ini.” Di masa Al Ghazali yang dikenal sebagai zaman kejayaan khasanah keilmuan Islam saja seperti itu, apalagi jaman sekarang. Ini sebuah isyarat bahwa ilmu tentang jiwa tidak banyak yang menggalinya. Bahkan bisa dikatakan ilmu tersebut perkembangannya kalah dibanding ilmu lainnya.
Sebenarnya, para ulama bukan tidak tertarik kepada masalah jiwa. Hanya masalah tersebut sudah banyak dibicarakan dalam al-Qur’an dan sunnah, sehingga mereka menganggap bahwa ummat Islam bisa mempelajari dari kedua sumber tersebut. Berbeda dengan masyarakat Barat yang memiliki pengalaman psikologis yang buram. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas puing-puing kekecewaan kepada gereja yang berseberangan dengan pemikiran modern sehingga agama (gereja) kemudian dipisahkan dari urusan dunia, dan implikasinya kemudian ilmu pengetahuan dan peradaban Barat berjalan sendiri tanpa panduan agama, dan jadilah peradaban sekuler.
Sedangkan dalam sejarah Islam, perkembangan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan agama, dan bahkan ajaran Islam sendiri mendorong ummatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pertumbuhan ilmu pengetahuan dan peradaban kaum Muslimin berada dalam panduan agama, bahkan filsafat (Islam) pun pertumbuhannya tetap berada dalam koridor al-Qur’an.
Al Ghazali menekankan pentingnya mempelajari ilmu jiwa itu karena manfaatnya sangat besar bagi kaum Muslimin. Karena ilmu nafs (jiwa) berhubungan dengan perubahan diri manusia. Nafs yang menyimpan gagasan dorongan kemauan dalam diri manusia merupakan penggerak tingkah laku dan pikiran. Baik buruknya tingkah laku dan pikiran seseorang ditentukan oleh jiwanya. Oleh karenanya, Al-Ghazaly mengkategorikan ilmu nafs (jiwa) menjadi ilmu yang fardlu ain untuk dipelajari, sebagaimana ilmu tauhid dan syariat. Jika diibaratkan mobil, jiwa adalah sopir atau yang mengendalikan mobil, dimana dia yang bertanggung jawab atas keselamatan mobil tersebut. Sedang jasmani adalah body mobil dan ruh atau nyawa sebagai accu yang sifatnya hanyalah sebagai yang menghidupkan saja.
Banyak orang keliru memahami tentang jiwa. Dikiranya jiwa sama dengan ruh. Padahal keduanya beda.
Kebanyakan orang hanya mengerti bahwa manusia itu terdiri dari jasad dan ruh. Atau rancu antara pengertian jiwa dengan ruh. Padahal Allah dalam al-Qur’an jelas-jelas membedakan penggunaan kata ar-ruh (ruh) dengan an-nafs (jiwa). Manusia itu terdiri dari tiga unsur: jasad, jiwa dan ruh.
Diantara ketiga unsur itu, jiwa merupakan unsur yang tidak banyak dipahami orang. Ketidakmengertian itu tidak hanya terjadi di masyarakat awam, golongan intelektual pun banyak yang tidak mengerti tentang jiwa. Bukan hanya terjadi saat ini saja, tetapi sudah lama. Buktinya, dalam buku Al Ihya Ulumuddin bab Ajaibul Qulub Imam Al Ghazali mengatakan, “Bahkan ulama-ulama yang masyhur sekarang ini (jaman Imam Al Ghazali) banyak yang tidak mengerti hal ini.” Di masa Al Ghazali yang dikenal sebagai zaman kejayaan khasanah keilmuan Islam saja seperti itu, apalagi jaman sekarang. Ini sebuah isyarat bahwa ilmu tentang jiwa tidak banyak yang menggalinya. Bahkan bisa dikatakan ilmu tersebut perkembangannya kalah dibanding ilmu lainnya.
Sebenarnya, para ulama bukan tidak tertarik kepada masalah jiwa. Hanya masalah tersebut sudah banyak dibicarakan dalam al-Qur’an dan sunnah, sehingga mereka menganggap bahwa ummat Islam bisa mempelajari dari kedua sumber tersebut. Berbeda dengan masyarakat Barat yang memiliki pengalaman psikologis yang buram. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas puing-puing kekecewaan kepada gereja yang berseberangan dengan pemikiran modern sehingga agama (gereja) kemudian dipisahkan dari urusan dunia, dan implikasinya kemudian ilmu pengetahuan dan peradaban Barat berjalan sendiri tanpa panduan agama, dan jadilah peradaban sekuler.
Sedangkan dalam sejarah Islam, perkembangan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan agama, dan bahkan ajaran Islam sendiri mendorong ummatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pertumbuhan ilmu pengetahuan dan peradaban kaum Muslimin berada dalam panduan agama, bahkan filsafat (Islam) pun pertumbuhannya tetap berada dalam koridor al-Qur’an.
Al Ghazali menekankan pentingnya mempelajari ilmu jiwa itu karena manfaatnya sangat besar bagi kaum Muslimin. Karena ilmu nafs (jiwa) berhubungan dengan perubahan diri manusia. Nafs yang menyimpan gagasan dorongan kemauan dalam diri manusia merupakan penggerak tingkah laku dan pikiran. Baik buruknya tingkah laku dan pikiran seseorang ditentukan oleh jiwanya. Oleh karenanya, Al-Ghazaly mengkategorikan ilmu nafs (jiwa) menjadi ilmu yang fardlu ain untuk dipelajari, sebagaimana ilmu tauhid dan syariat. Jika diibaratkan mobil, jiwa adalah sopir atau yang mengendalikan mobil, dimana dia yang bertanggung jawab atas keselamatan mobil tersebut. Sedang jasmani adalah body mobil dan ruh atau nyawa sebagai accu yang sifatnya hanyalah sebagai yang menghidupkan saja.
sumber : http://www.facebook.com/pages/KATA-MUTIARA-ISLAM/
0 comments:
Post a Comment